Melanjukan
tulisan terdahulu tentang ISPA serta klasifikasi ISPA pada Balita, maka kita
perlu mengetahui beberapa faktor resiko ISPA pada Balita. Berbagai publikasi
melaporkan tentang faktor resiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pneumonia. Jika dibuat daftar faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor
resiko yang meningkatkan insiden pneumonia
·
Umur < 2 bulan
·
Laki-laki
·
Gizi kurang
·
Berat badan lahir rendah
·
Tidak mendapat ASI memadai
·
Polusi udara
·
Kepadatan tempat tinggal
·
Imunisasi yang tidak memadai
·
Membedong anak (menyelimuti
berlebihan)
·
Defisiensi vitamin A
b. Faktor
resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia
·
Umur < 2 bulan
·
Tingkat sosial ekonomi rendah
·
Gizi kurang
·
Berat badan lahir rendah
·
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
· Tingkat
jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
·
Kepadatan tempat tinggal
·
Imunisasi yang tidak memadai
·
Menderita penyakit kronis
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor
resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak , serta
faktor perilaku.
1. Faktor
lingkungan
a. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran
bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi
pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah,
bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini
lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah
bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil
penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya
ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di
daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan
6 – 10 tahun.
b. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan
udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun
secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum
bagi pernapasan.
2.
Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat
pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
3. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
4. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan
bangunan.
5. Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan
oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
6.
Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
c. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut
keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m². Dengan kriteria
tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan
aktivitas.
Keadaan tempat
tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.
Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat
sosial, dan pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini.
2. Faktor
individu anak
a. Umur anak
Sejumlah studi yang besar
menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh veirus melonjak pada bayi
dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi
pada umur 6 –12 bulan.
b. Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan
lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat
bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat
infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted
terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa
anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih
tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat
infeksinya.
c. Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh
pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur, keadaan
fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya
makanan dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat
dilakukan antara lain berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi yang buruk muncul
sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian
telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru,
sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu
adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat
lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan
lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor
daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan
gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih
lama.
d. Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan
Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu
sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan
sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada
kelompok kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan
bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang
spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila
antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing
yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap
bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala
terhadap anak-anal prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan
terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu
meningkatkan daya tahan tubuh dan erlindungan terhadap anak Indonesia sehingga
mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang
sebaik-baiknya.
e. Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah
terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia
sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA
yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan
besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif
saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% lematian pneumonia dapat
dicegah.
3. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek
penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota
keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling
tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga
mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga
lainnya.
Peran aktif keluarga/masyarakat
dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit
yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita,
sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan
balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya
sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta
mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan
rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak
menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas
bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA
sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang
kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi
bertambah berat.
Dalam penanganan ISPA tingkat
keluarga keseluruhannya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
perawatan penunjang oleh ibu balita; tindakan yang segera dan pengamatan
tentang perkembangan penyakit balita; pencarian pertolongan pada pelayanan
kesehatan.
0 komentar:
Posting Komentar